Minggu, 12 Januari 2014

Nilai Diri yang Terbeli


Nilai Diri yang Terbeli Di tengah pesatnya pengaruh budaya luar yang masuk dalam suatu bangsa selalu muncul upaya-upaya mengangkat kembali ke permukaan tradisi lokal. Terutama jika ternyata arus baru tersebut membawa sekian banyak kepentingan dominasi bangsa lain. Karena nilai-nilai tradisi diyakini (atau lebih tepat diharapkan) mampu mengimbangi eksitensi budaya baru tersebut. Hanya seringkali dalam proses awal peresapan budaya baru, local tradition sering kali disampingkan keberadaannya karena dianggap tidak mampu mengakomodir kebutuhan masyarakatnya yang semakin berkembang. Kalaupun masih dilihat, itupun hanya pencomotan bagian-bagian tertentu yang dianggap menguntungkan bagi penanda indentitas yang muncul kemudian. Arus Liberalisme baru Kini penggalian dan penguatan local genous mencapai titik balik arti pentingnya, setelah secara blak-blakan negara-negara kapitalis maju membidani lahirnya Neo-Liberalisme, monster ideologi kapitalisme baru yang terbungkus manis dalam kredo Globalisasi. Sejak 1970-an hingga kini, aliran baru kapitalisme ini mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek penghisapan negara kecil oleh negara besar, parahnya kondisi ini ditopang oleh pilar-pilar badan keuangan dunia seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO. Di Indonesia sendiri paham liberalisme baru ini mulai terasa sejak era 80-an awal, saat pemeritah orde baru mulai menerapkan kebijaksanaan liberalisasi dibidang ekonomi dan keuangan. Saat Indonesia – yang telah terlanjur terbuai dalam candu kucuran hutang dari IGGI, IMF maupun Bank Dunia – dengan tunduk patuh menerima dan mengadopsi kebijakan tersebut. Walaupun jelas dalam jangka panjang beberapa kebijakan tersebut justru akan semakin menjerumuskan bangsa ini ke kemelaratan. Beberapa kebijakan yang sangat menyolok adalah pada alocative efficiency, swatanisasi, liberalisasi impor, dan pembebasan total sekat arus investasi asing. Alocative efficiency atau kebijakan pengembalian mekanisme pasar bebas sebagai penentu pembentukan harga barang/jasa dan sebagai proses pengalokasian sumber ekonomi ketingkat yang optimal sangat beresiko dilakukan pada sebuah negara yang memiliki kesenjangan sosial tinggi seperti Indonesia. Karena dalam siruasi kepincangan yang menyolok dalam hal pendapatan maupun kekayaan, maka pasar akan cenderung melakukan pengakomodasian kebutuhan orang-orang kaya saja, karena keuntungan akan cenderung lebih besar. Akibatnya sumber ekonomi akan teralokasikan untuk memproduksi barang mewah, artinya pemproduksian barang-barang pokok harus dikorbankan. Begitu juga dengan swastanisasi seluas-luasnya bidang ekonomi akan membuka lebar-lebar pintu pemusatan distribusi kekayaan dan kekuasaan politik kekalangan tertentu yang punya duit besar saja. Liberalisasi impor dan pembebasan total sekat arus investasi asing, selintas memang tampak menggiurkan. Akan tetapi jika kita telaah lebih jauh, kebijaksanaan ini merupakan sebuah awal pembunuhan potensi dan penghisapan besar-besaran. Kita semua tahu bahwa tidak semua negara memiliki tingkat kekuatan ekonomi maupun keuangan yang sama. Sehingga saat liberalisasi impor digulirkan maka negara-negara kuat, yang mampu memproduksi barang dalam sekala besar dan menimbulkan manfaat sekala ekonomi tinggi, akan menjadi penentu harga. Sedangkan negara-negara lemah, yang masih memproduksi dengan sekala kecil dan belum memiliki manfaat ekonomi tinggi, sebagai penerima kebijakan harga tersebut. Contoh paling gampang dari penjelasan diatas adalah pada masuknya gula maupun daging impor dari negara maju secara besar-besaran ke Indonesia yang nota bene tidak memiliki kemampuan produksi yang mampu menyaingi. Maka dapat dipastikan produksi gula maupun daging domestik akan kalah bersaing dengan produk negara maju tersebut. Akibatnya kita terpaksa harus melihat sektor-sektor dalam negeri satu persatu gulungtikar. Lebih jauh, Neo-Liberalisme ini tidak hanya menghisap dan melumpuhkan faktor-faktor ekonomi saja, akan tetapi juga telah masuk keranah budaya. Arus liberalisme baru dengan topeng globalisasi ini dengan tampa ampun telah menerjang Indonesia yang berlatar belakang agraris dan belum bisa dibilang kaya. Sembari menghisap dan intrefrensi mereka juga menjejalkan produk-produk teknologi mereka dengan sekian banyak tawaran memukau. Grojokan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional telah merombak total wajah Indonesia. Hampir dalam segala sisi kehidupan bangsa terjadi pergeseran orentasi kearah kapitalis. Secara fisik memang pembangunan infrastruktur di Indonesia, terutama diwilayah jantung kekuasaan, mengalami sekian banyak kemajuan. Karakter bangsa yang dahulu agraris, tradisional menjadi begitu genit, gaul, funky, dan pragmatis habis. Akibatnya memang luar biasa, budaya konsumtif muncul dimana-mana. Penghargaan terhadap kekayaan dan nilai tradisi telah turun ketitik nadir dan tercerabut, digantikan dengan segala bentuk gemerlap produk baru yang dianggap lebih mempesona, bermanfaat, keren, dan yang pasti tidak dibilang kampungan. Karena satu alasan, ikuti gaya hidup sang patron, sang bangsa dari (mengutip bahasa Pramudya Ananta Noer) atas angin. Kini bukan hanya limun maupun beras kencur produk lokal yang telah tergusur dan digantikan dengan Coca-Cola maupun Fanta. Akan tetapi juga kesenian-kesenian tradisional sudah mulai ditinggalkan dan dianggap kampungan, digantikan dengan kebudayaan pop dengan segala keerotisan, keeksentrikan, dan hura-hura. Pun di institusi yang bernama sekolah gelombang pergeseran nilai ini tidak juga terbendung. Saya teringat sebuah iklan di televisi yang menggambarkan bermimpi buruk seseorang yang dikejar-kejar dan akan dipukuli, lantas terbangun dengan sebuah teriakan histeris “…saya hanya ingin ijasah”. Kemudian datang seseorang yang berkata, “kalau ingin ijasah, ya sekolah”. Sedikit banyak iklan tersebut mampu menggambarkan kondisi dunia pendidikan kita, bahwa tujuan sebuah institusi yang bernama sekolah telah benar-benar berubah. Jika dulu sekolah sebagai tempat mencari ilmu untuk menjadikan hidup seseorang lebih bermartabat karena memiliki pengetahuan yang bermanfaat dan dibuktikan dalam praktek nyata. Bukan dengan selembar kertas yang bernama ijasah. Kini seorang anak akan berangkat kesekolah dengan satu harapan dapat ijasah, dapat kerja, dan jadi orang kaya. Karena ukuran orang berilmu adalah ijasah dan ukuran martabat adalah harta kekayaan. Disini tata nilai tradisi telah mengalami titik pembusukan digantikan oleh segala orentasi materi duniawi. Hargai Diri Sendiri Tampaknya kita harus kembali melihat diri sendiri untuk bisa lebih menghargai dan menggali potensi diri. Selayaknya sebuah bangsa, kita juga mempunyai sebuah potensi besar bukan hanya apa yang ada dan terpendam dalam bumi nusantara. Akan tetapi lebih dari itu kita memiliki tradisi yang merupakan tata nilai yang berasal dari formulasi adaptasi dan penyelarasan terhadap segala kondisi lokal genius yang pernah dihadapi. Disana ada sekian banyak kearifan-kearifan tradisi lokal yang bisa digali, dipelajari dan diadaptasikan kembali. Memang tidak mudah memunculkan kembali karakter local genous ini. Tapi pemunculan ini bukan hal yang mustahil jika penjagaan lokal genous dapat dilakukan diantara gesekan dinamika dan proses interaksi masyarakatnya. Hal ini penting karena dinamika kebutuhan masyarakat, pandangan masyarakat terhadap sistem sosial dan alam akan banyak mempengaruhi pandangan masyarakatnya terhadap arti penting sebuah tata nilai. Jelas penyingkapan masalah ini tidak bisa hanya dilakukan secara parsial. Seluruh elemen bangsa ini harus mulai sadar dan berani untuk mengawali perlawanan dan kepercayaan pada diri sendiri. Bahwa kita bukanlah sebuah bangsa penyakitan dan idiot yang selalu akan tergantung pada bangsa lain. Bahwa kita bukanlah bangsa yang memiliki nilai budaya dan tradisi yang lebih rendah dari pada bangsa lain. Bahwa kita boleh miskin, akan tetapi tidak akan pernah memberikan hidung untuk dicocok dan disetir seperti sapi penarik pedati. Akhirnya, mari bersama kita mulai menghargai diri sendiri. Wassalam. dini hari di awal Agustus 2004

0 komentar:

Template by - Abdul Munir